Oleh
Su Herdjoko
SEMARANG – Siapa sebenarnya raja lautan itu? Bartolemeus Dias, Marco Polo, Vasco da Gama, Christopher Colombus, atau siapa? Nama-nama itu adalah para pelaut bangsa Eropa yang sudah tersohor. Namun para petualang laut itu masih sangat kecil bila dibandingkan dengan nama Cheng Ho, seorang laksamana dari Dinasti Ming ketika diperintah oleh Kaisar Yung Lo atau Zhu Di pada abad 14.
Laksamana Cheng Ho benar-benar merupakan raja laut dalam arti sebenarnya. Sementara para pelaut bangsa Eropa lebih tepat disebut penjelajah semata. Perbandingan itu bisa dilihat dalam jumlah awak kapal yang mereka bawa. Bartolemeus Dias, orang pertama yang melintasi ujung selatan Afrika (Tanjung Harapan) hanya menggunakan tiga kapal jenis Caravel yang berisi 170 orang.
Sementara perjalanan Christopher Colombus yang memulai pelayaran 3 Agustus 1492 juga menggunakan tiga kapal buatan bangsa Spanyol. Pertama, kapal Santa Maria, kapal terbesar yang dinahkodai Colombus sendiri. Dua kapal lainnya adalah Nina dan Pinta yang lebih kecil. Jumlah awak kapal tiga bahtera itu hanya 104 orang.
Mari melihat armada Cheng Ho. Jumlah armadanya mencapai 357 kapal dengan 27.800 awak kapal. Bukan itu saja, ada 62 kapal Cina berukuran besar yang disebut jung, panjangnya mencapai 132 meter dengan lebar 54 meter. Itu jelas lebih besar dibandingkan kapal-kapal bangsa Eropa yang berukuran separuh atau bahkan seperlima lebih kecil dibandingkan jung Cina.
Cheng Ho berangkat dari Nanking pada 15 Juli 1405 atas perintah misi kerajaan dari Kaisar Yung Lo atau Zhu Di dari Dinasti Ming. Itu artinya, sekitar 87 tahun sebelum perjalanan Colombus.
Bahkan dalam segi lama penjelajahan, Cheng Ho benar-benar tidak tertandingi. Selama 28 tahun ia menjelajahi dunia mulai dari daratan Cina, semenanjung Malaka, Indonesia (Sumatera, Jawa), India, Jazirah Arab, hingga ke Mogadisu di Afrika Timur. Ada sekitar 30 negara ia singgahi selama itu. Misi politik dan perdagangan ia emban bagi kaisarnya. Ia melakukan perjalanan itu sebanyak tujuh kali.
Konvoi armada Cheng Ho di laut biru itu mirip dengan kawanan awan yang berarak-arakan di langit.
Luruskan Sejarah
Bukti-bukti kebesaran Cheng Ho diungkapkan oleh sejarawan amatir Gavin Menzies, pensiunan Komandan Kapal Selam Angkatan Laut Inggris. Dengan biaya sendiri ia mengunjungi 120 negara dan melakukan penelitian di 900 museum dan perpustakaan. Bukan itu saja, ia juga bertanya kepada para ahli. Hasilnya? Ia kemudian menerbitkan buku bertajuk “1421, The Year China Discovered The World” pada November 2002. Di bukunya itu, Menzies menjelaskan bahwa Cheng Ho yang pertama kali menemukan Benua Amerika, bukan Colombus. Sejarah memang harus diluruskan.
Menzies menegaskan, Colombus justru berlayar dengan bekal peta lama buatan Cina. “Ketika para awak kapalnya gelisah, Colombus hanya meyakinkan, terus saja ke barat, nanti pasti akan sampai.”
Peta itu diyakini sebagai peta yang dibuat berlayar para pelaut Cina. Apalagi peneliti lain, Cedric Bell, menemukan reruntuhan kota kuno di Cape Breton, Nova Scotia, pantai timur Kanada. Kawasan itu ternyata memiliki tembok keliling dengan arsitektur Cina. Temuannya itu kemudian disebut Nova Cataia atau New Cathay.
Konon, setiap ia pulang ke Cina, Cheng Ho selalu membawa oleh-oleh benda-benda eksotik untuk sang kaisar mulai dari batu permata, jenis pakaian, rempah-rempah, sampai dengan hewan-hewan seperti singa, macan tutul, jerapah, burung onta, merak, ataupun hewan eksotik lainnya yang di Cina belum ada.
Sah-sah saja bila kemudian ada cerita bahwa Kaisar Yung Lo memiliki sebuah kebun binatang yang berisi aneka satwa yang di Cina sebelumnya tidak ada. Kaisar sendiri yang menjemput Cheng Ho di pintu gerbang dan kemudian menamakan hewan-hewan itu hewan-hewan dari surga.
Mengapa Kaisar Yung Lo mengutus Cheng Ho ke daerah selatan dan barat? Ada beberapa teori. Pertama adalah Yung Lo saat itu memang sedang memburu kaisar yang baru saja digulingkan, yakni Zhu Yun Wen yang juga keponakannya sendiri. Selain itu juga berusaha memburu seorang perwira desersi Cina yang menjadi perompak di Palembang bernama Chen Zhu Yi atau juga Tan Go Ci.
Teori lain meyakini Cheng Ho melaksanakan misi muhibah untuk menjalin persahabatan dan perdagangan dengan kerajaan di luar negeri.
Diperingati Besar-besaran
Kehebatan Cheng Ho itu kini sedang diperingati di Semarang, Jawa Tengah, secara besar-besaran sejak 1 hingga 7 Agustus 2005 nanti di beberapa tempat. Pertama, di Kawasan PRPP (Pekan Raya Promosi dan Perdagangan) Jawa Tengah di pantai Marina. Kedua, di Kelenteng Tay Kak Sie di Pecinan Semarang, serta di Kelenteng Sam Poo Kong, Gedung Batu, Semarang. Ketiga, di GOR Jatidiri dalam acara lomba barongsay nasional.
Alasan peringatan itu digelar di Semarang karena Cheng Ho pernah selama sebulan tinggal di Semarang dalam rangka perbaikan kapal dan merawat salah satu pembantu utamanya yang sakit, Ong King Hong. Namun sumber lain menyebutkan Cheng Ho tinggal di Semarang sekitar satu tahun.
Menurut sejarawan Slamet Muljana dalam bukunya “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara” (Jakarta: 1968), dalam misi pelayarannya itu Cheng Ho pernah singgah di Indonesia seperti di Samodra Pasai (Aceh), Palembang, Cilincing (Jakarta), Gunung Talang (Cirebon), Gedung Batu (Semarang), dan Surabaya.
Pengamat sejarah Cina dan juga penulis cerita silat Cina, Gan Kok Hwie dari Semarang menjelaskan, Cheng Ho dalam misinya juga mengajarkan penduduk setempat soal bertani, membuat rumah, sampai dengan pertukaran budaya.
Slamet Muljana dalam bukunya menjelaskan bahwa Cheng Ho berperan besar dalam pergolakan politik di kerajaan-kerajaan di Jawa. Setidaknya Cheng Ho berperan dalam membangun kerajaan Islam Demak pada tahun 1475, serta memiliki andil besar dalam keruntuhan Majapahit.
Cheng Ho meninggal pada 1435 dalam perjalanan pulang dari Afrika Timur ke Cina. Ia dimakamkan di Niushou, Nanking (Nanjing); menjadi peletak dasar orang-orang Cina bermain dalam pemerintahan di kerajaan-kerajaan Jawa. Cheng Ho dipercaya mengunjungi Majapahit pada 1406, setahun setelah pelayarannya dari Cina.
Sisa-sisa pengaruh peradaban Cina yang dibawa Cheng Ho yang muslim itu bisa dilihat dari gaya arstitektur masjid dan menara masjid di Jawa. Atap-atap pelana kuda mirip kelenteng, dan menara masjid mirip pagoda; merupakan pengaruh Cina. Bukan itu saja, bedug yang digantungkan di masjid-masjid di Jawa – kemudian juga di Indonesia – merupakan perkusi khas Cina.
Cheng Ho memang dari keluarga muslim. Ia anak dari Haji Ma Ha Zhi dan ibu dari marga Oen (Wen) di Desa He Tay, Kabupaten Kun Yang, di Provinsi Yunnan. Dalam sebuah peperangan, kawasan Yunnan diserbu tentara Kekaisaran Cina (Ming) yang sedang menggempur tentara Monggolia yang sempat menjajah Cina.
Dalam serangan itu, sebagai warga sipil keluarga Ma Ha Zhi menjadi korban. Ma Ha Zhi tewas, sementara si kecil Cheng Ho alias Ma He yang kala itu berusia 12 tahun juga menjadi korban. Ia dikebiri (thaykam), sebuah tradisi kejam tentara penakluk terhadap para lelaki yang daerahnya baru dikuasainya.
Entah bagaimana kisahnya, Cheng Ho justru bisa menjadi pengawal raja Pangeran Zhu Di. Ia juga yang ikut menggulingkan Kaisar Zhu Yun Wen. Cheng Ho pula akhirnya diberi gelar Sam Poo Kong – yakni orang besar ketiga di sebuah kekaisaran. Pertama adalah kaisar. Kedua, putra mahkota, dan ketiga, Sam Poo Kong itu. ***
Sumber :
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2005/0804/wis01.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar